Sunday, April 27, 2025

Masa depan bangsa ini ada di server, ledger, dan algoritma yang kita bangun sendiri — atau kita akan menjadi budak di negeri sendiri.


Kedaulatan Digital Indonesia Terancam: Dari GPN, QRIS, hingga Bahaya Kolonialisme Data Global

Oleh: Hendra Suryakusuma


Mengapa Kita Harus Waspada?

Di beberapa artikel yang pernah saya buat dan di beberapa event secara tegas saya sampaikan bawah Indonesia tidak berdaulat secara digital. Ini juga di perparah dengan implementasi PP71 2019 yang justru merelaksasi penempatan data. Harus diingat IDPRO saat itu sangat menentang implementasi ini karena di tahun 2019 kita belum memiliki UU Perlindungan Data Pribadi, UU PDP baru disahkan di tahun 2022. Jadi kita bisa lihat secara masif betapa insiden keamanan siber terjadi begitu luas di Indonesia. Kita pernah punya PP 82 2012 yang sudah sangat pro dengan data residensi tapi itu di revisi. 


Ditambah lagi beberapa waktu lalu, publik dikejutkan oleh laporan bagaimana pemerintahan Trump secara terang-terangan "menyentil" kebijakan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) dan QRIS Indonesia. 


Banyak yang menganggap ini sekadar "masalah komunikasi diplomatik biasa." Tapi, bagi mereka yang memahami geopolitik digital, ini adalah sinyal keras: Indonesia sedang ditekan agar tetap membuka pintu dominasinya dalam arsitektur keuangan digital — yang pada akhirnya mempertahankan ketergantungan kita pada sistem asing.


Masalah ini tidak berdiri sendiri. Kita menghadapi era baru yang lebih berbahaya: era kolonialisme digital.
Seperti yang dikupas dalam tulisan brilian Mangesti Waluyo Sedjati dalam artikelnya “Perang Data Global dan Ancaman Kolonialisme Digital” — dunia sedang mengalami pergeseran kekuasaan:

  • Dulu penjajahan lewat meriam dan senjata,
  • Kini penjajahan lewat algoritma, cloud, dan biometrik.

Indonesia hari ini sangat rentan.

Kenapa?

  • Karena regulasi kita masih lemah, UU PDP sudah disahkan tapi implementasinya masih jauh dari kata sempurna.
  • Karena infrastruktur teknologi kita masih banyak bergantung pada perusahaan asing,
  • Karena Cloud Act dan Patriot Act Amerika memungkinkan pemerintah AS mengakses data milik warga dunia di server perusahaan berbendera AS — meskipun server itu secara fisik ada di Indonesia.


Kasus Worldcoin: Bukti Nyata Bahaya Kolonialisme Data

Worldcoin, proyek biometrik global berbasis di San Francisco, adalah contoh nyata "penjajahan baru."

Dengan iming-iming Rp 400.000–Rp 500.000, ribuan anak muda Indonesia rela menyerahkan iris mata — data biometrik yang lebih permanen daripada sidik jari.

Tahukah Anda?

  • Iris mata tidak bisa diganti.
  • Sekali bocor, data Anda bisa dipakai untuk tracking, pencurian identitas, bahkan peretasan seumur hidup.
  • Negara-negara maju seperti Kenya, Jerman, dan Prancis sudah melarang Worldcoin — karena sadar ini ancaman terhadap kedaulatan data nasional.

Sementara itu di Indonesia?

  • Belum ada moratorium,
  • Belum ada audit independen,
  • Belum ada literasi publik yang memadai.

Indonesia bisa menjadi ladang emas baru untuk korporasi asing, bukan untuk pembangunan nasional, tetapi untuk bisnis global berbasis manusia sebagai komoditas.


Hilirisasi Digital: Kunci Bangkit atau Dijajah

Banyak yang bicara tentang hilirisasi tambang, hilirisasi mineral. Tapi sedikit yang sadar: hilirisasi masa depan adalah hilirisasi digital.

Kalau kita lihat S&P 500, perusahaan-perusahaan terbesar dunia — seperti Apple, Microsoft, Amazon, Nvidia — adalah perusahaan teknologi. Mereka tidak menambang batu bara; mereka menambang data manusia.

Maka, kunci hilirisasi nasional hari ini bukan hanya membangun smelter nikel, tapi membangun kedaulatan data dan infrastruktur digital kita sendiri.


Solusi: Membangun Perisai Digital Indonesia

Apa yang bisa dan harus kita lakukan?


1. Infrastruktur Cloud Nasional

Kita tidak bisa bergantung lagi pada cloud asing yang tunduk pada Cloud Act. Indonesia perlu membangun:

  • Private cloud nasional berbasis open-source (teknologi lokal harus dikedepankan),
  • Virtualisasi independen (berbasis KVM),
  • Data center 100% dikelola lokal, berlokasi di Indonesia, dengan sertifikasi keamanan internasional (ISO 27001, SOC 2).

Kalau perlu, kita bangun cloud stack berbasis komunitas: "SangSakaCloud" untuk semua sektor strategis.


2. Virtualisasi dan Edge Computing Lokal

Mengurangi ketergantungan pada Big Cloud harus didukung dengan:

  • Edge server lokal di kampus, instansi pemerintah, komunitas industri.
  • Virtualisasi internal dengan container (Docker, Kubernetes lokal) — supaya data tidak perlu keluar ke cloud asing hanya untuk proses komputasi sederhana.

Data sovereignty harus dimulai dari bawah, dari edge, dari grassroots.


3. Reformasi Regulasi Perlindungan Data

  • Implementasi UU PDP 2022, dengan pendirian kelembagaan yang jelas tugas pokok dan fungsinya dan digerakkan oleh team yang kompeten.
  • Masukkan pasal eksplisit perlindungan biometrik (iris, DNA, wajah),
  • Mewajibkan semua operator data biometrik asing menyimpan dan memproses data di dalam negeri.

Kalau tidak mau, blokir operasinya.


4. Membangun Gerakan Kesadaran Data Nasional

  • Kampanye nasional: “Iris Matamu Bukan Untuk Dijual.”
  • Literasi digital masuk sekolah-sekolah, pesantren, kampus.
  • Melibatkan tokoh agama dan budaya: menjual data biometrik = menjual harga diri bangsa.


5. Blockchain: Pilar Transparansi dan Kedaulatan Data Masa Depan

Kalau kita serius mau membangun kedaulatan digital, blockchain bukan lagi sekadar pilihan — tapi kebutuhan.

Kenapa?

a. Immutable Ledger:
Data yang dicatat di blockchain tidak bisa diubah atau dihapus tanpa jejak. Ini melindungi data nasional dari manipulasi, sabotase, atau penyalahgunaan diam-diam oleh pihak asing atau korporasi nakal.

b. Transparansi Terdesentralisasi:
Alih-alih satu pihak (perusahaan cloud) menguasai server dan bisa mengakses data kita kapan saja, blockchain memungkinkan sistem di mana:

  • Semua akses tercatat secara transparan,
  • Tidak ada single point of failure,
  • Pengawasan oleh banyak validator independen.

c. Verifikasi Tanpa Bergantung Korporasi Asing:
Dengan blockchain, kita bisa membangun:

  • Sistem identitas digital (Digital ID) nasional yang self-sovereign — warga punya kendali penuh atas identitas mereka, tanpa campur tangan pihak asing.
  • Sertifikasi digital nasional untuk aset, sertifikat, akta, dokumen pemerintahan — semua disimpan secara tamper-proof.

d. Perlindungan Privasi Tingkat Lanjut:
Teknologi Zero Knowledge Proof (ZKP) di blockchain memungkinkan:

  • Verifikasi identitas atau data tanpa harus membocorkan semua data pribadi.
  • Ini cocok untuk transaksi keuangan, pelayanan publik, hingga voting digital yang aman tapi privat.


Blockchain untuk Indonesia: Contoh Aplikasinya

  • e-KTP Blockchain:
    Mengamankan identitas nasional tanpa bisa dipalsukan, diretas, atau dijual secara ilegal.
  • Land Registry Blockchain:
    Melindungi sertifikat tanah dari mafia tanah dan mempermudah verifikasi kepemilikan.
  • Supply Chain Blockchain:
    Memastikan transparansi distribusi pangan, logistik, hingga industri tambang nasional.
  • e-Voting Blockchain:
    Meningkatkan kepercayaan publik dalam pemilu dengan suara yang aman, terenkripsi, dan tidak bisa dimanipulasi.


Blockchain Nasional: Bukan Blockchain Asing

Catatan penting:
Kalau mau membangun blockchain untuk kedaulatan data, jangan pakai blockchain asing (seperti Ethereum publik, Solana, dsb) tanpa kontrol penuh.
Indonesia harus:

  • Membuat blockchain nasional (seperti "GarudaChain" atau "SangSakaChain"),
  • Validator dipegang oleh BUMN, universitas, dan komunitas lokal,
  • Sistem open source tapi dengan standar keamanan nasional.

Dengan begitu, kita tidak hanya membangun infrastruktur digital, tapi juga menyusun fondasi baru untuk kemerdekaan data abad ke-21.


Penegasan: Tanpa Blockchain, Kedaulatan Data Hanya Mimpi

  • Di dunia yang semakin terhubung dan terkontrol algoritma,
  • Siapa yang menguasai database, menguasai manusia.
  • Tanpa blockchain nasional, data kita akan tetap bisa dimanipulasi, dipantau, dan dijajah.


Itulah kenapa blockchain harus menjadi pilar kedaulatan data Indonesia, berdampingan dengan cloud nasional, edge computing lokal, dan literasi digital massal.

Masa depan bangsa ini ada di server, ledger, dan algoritma yang kita bangun sendiri — atau kita akan menjadi budak di negeri sendiri.


Akhir Kata: Pilihan Ada di Tangan Kita

Kita tidak lagi hidup di zaman perang fisik.

Hari ini:

  • Mereka tidak merebut tanah kita.
  • Mereka merebut identitas kita.
  • Mereka tidak datang dengan meriam.
  • Mereka datang dengan algoritma, server cloud, Orb pemindai iris.

Kalau kita tidak membangun perisai digital kita sendiri, kita akan menjadi budak baru di koloni algoritma global.

Pilihannya sederhana:

  • Mau merdeka di dunia digital,
  • Atau menjadi budak di dunia algoritma.

Mulai sekarang. Di sini. Bersama.


Referensi:

  • Worldcoin Transparency Report 2025
  • Wired UK Investigative Series (2024)
  • UNCTAD Digital Economy Report (2024)
  • Electronic Frontier Foundation (2024)
  • European Data Protection Board (2024)
  • Artikel Mangesti Waluyo Sedjati, 26 April 2025: “Perang Data Global dan Ancaman Kolonialisme Digital”