Indonesia kembali menangis.
Pada awal Desember 2025, bencana banjir besar menghantam tiga provinsi besar di Pulau Sumatera: Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Ribuan rumah terendam, ribuan warga mengungsi, dan tak sedikit nyawa yang hilang. Dari berita terakhir yang saya baca, sudah mencapai lebih dari 800 korban jiwa. Tapi yang lebih menyakitkan: ini bukan sekadar bencana alam. Ini adalah hasil dari keserakahan manusia yang dilegalkan oleh sistem.
Kronologi dan Dampak Bencana
Aceh – 2 Desember 2025
Hujan deras selama 3 hari berturut-turut menyebabkan sungai Krueng Aceh meluap, merendam wilayah Aceh Besar, Pidie, dan Lhokseumawe.
- Jumlah pengungsi: ±4.200 jiwa
- Korban jiwa: 7 orang
- Kerusakan: Ratusan rumah hanyut, sawah terendam total
Sumatera Barat – 4 Desember 2025
Kabupaten Agam dan Padang Pariaman mengalami longsor dan banjir bandang akibat rusaknya kawasan hulu Bukit Barisan.
- Korban jiwa: 12 orang
- Fasilitas rusak: 3 jembatan runtuh, 2 sekolah hilang tersapu banjir
Sumatera Utara – 5 Desember 2025
Deli Serdang dan Medan bagian timur dikepung banjir dari luapan Sungai Deli dan Belawan.
- Korban terdampak: Lebih dari 6.000 orang
- Penyebab utama: Minimnya resapan, alih fungsi lahan besar-besaran
Di Balik Air Bah, Ada Jejak Keserakahan
Bencana ini tak terjadi tiba-tiba. Deforestasi massif, tata ruang semrawut, dan lemahnya pengawasan menjadi bom waktu yang akhirnya meledak.
Perizinan pembukaan lahan, proyek-proyek “strategis nasional” yang menyingkirkan kawasan resapan air, hingga tumpang tindih kebijakan antar kementerian—semua saling menyumbang pada kehancuran ini.
Kegilaan ini sudah terjadi lebih dari 10 tahun. Bahkan ada tayangan dokumenter di mana Harrison Ford menjadi jurnalisnya—dan saat ia mewawancarai Zulkifli Hasan tentang kehancuran Taman Nasional Tesso Nilo, jawabannya begitu kabur, menunjukkan dengan terang benderang betapa buruknya fungsi regulasi dan kuatnya cengkeraman oligarki.
Segelintir orang mengeruk keuntungan dari alam. Tapi jutaan harus menanggung bencananya.
Fakta Menyedihkan yang Harus Kita Sorot:
- 86% lahan hutan di wilayah terdampak telah dialihfungsikan dalam 10 tahun terakhir.
- Banyak proyek infrastruktur tidak menyertakan AMDAL secara serius.
- Regulasi tumpang tindih antar lembaga, pengawasan di lapangan nyaris nol.
- Masyarakat lokal yang mengingatkan justru sering diintimidasi atau dikriminalisasi.
5 Langkah Menuju Perubahan Nyata
Mari kita bicara solusi. Bukan solusi jangka pendek, tapi perubahan sistemik. Inilah hal-hal yang bisa kita dorong bersama:
1. Tekan Pemerintah untuk Reformasi Tata Ruang Nasional
- Transparansi dan pembaruan kebijakan tata ruang berbasis data lingkungan.
- Revisi RTRW yang mengikuti dinamika bencana dan risiko iklim.
2. Berani Lawan Oligarki Lingkungan
- Tanyakan: siapa yang beri izin tebang hutan?
- Dukung jurnalisme investigasi & aktivis yang mengungkap kejahatan lingkungan.
3. Prioritaskan Infrastruktur Hijau
- Reforestasi dan revitalisasi daerah aliran sungai (DAS), bukan cuma tanggul dan beton.
4. Aktif di Level Lokal
- Pemetaan kawasan rawan banjir, literasi lingkungan digital, dan pengawasan warga.
5. Gunakan Suara Kita untuk Pemimpin yang Peduli
- Cek rekam jejak, bukan hanya baliho.
- Siapa yang menandatangani izin? Siapa yang bungkam suara rakyat?
Akhir Kata: Bukan Tentang Banjir, Tapi Tentang Masa Depan
Kalau kita diam hari ini, esok kita hanya akan menonton berita bencana lain dengan rasa putus asa yang sama. Jangan sampai air menjadi simbol kematian di negeri maritim ini.
Mari berhenti menyebut ini "takdir".
Ini adalah hasil dari pilihan.
Dan karena itu, kita juga bisa memilih untuk melawan, membenahi, dan membangun kembali dengan nurani dan nalar.
Saatnya Belajar dari Mereka yang Tak Pernah Mengkhianati Alam
Tapi ingat—solusi tidak selalu harus datang dari luar. Seringkali, kita hanya perlu kembali mendengar.
Lihat masyarakat adat: Badui di Banten, Dayak di Kalimantan. Mereka tak butuh istilah “sustainability” untuk menjaga hutan, tak perlu wacana “transisi hijau” untuk hidup seimbang dengan air dan tanah. Mereka paham, jauh sebelum kita punya undang-undang, bahwa alam bukan milik manusia—kitalah yang bergantung padanya.
Mereka tidak hanya melestarikan. Mereka hidup dalam kesadaran.
Dan mungkin, itulah yang paling hilang dari kita hari ini.
Kalau mereka bisa hidup tanpa merusak, mengapa kita yang merasa lebih modern justru terus menghancurkan?
Mari dengarkan mereka yang paling sering dibungkam—karena bisa jadi di situlah suara masa depan.