Wednesday, October 01, 2025

Insentif Data Center: Pilar Tak Terlihat yang Bisa Mengangkat GDP Indonesia di Atas 8%





Di tengah hiruk-pikuk angka APBN dan target-target makroekonomi, terkadang kita lupa bahwa masa depan ekonomi sebuah bangsa tak hanya dibangun dari konsumsi dan ekspor—melainkan dari keputusan strategis terhadap infrastruktur tak kasatmata yang menopang dunia digital.

Salah satu infrastruktur itu adalah data center—“pabrik digital” tempat seluruh denyut ekonomi modern dikumpulkan, diproses, dan disimpan. Dan kini, Indonesia berada di persimpangan jalan: apakah kita akan menjadi pemain utama dalam ekonomi digital, atau kembali menjadi pasar bagi raksasa teknologi global?


Data Center: Jalan Tol Digital Abad ke-21


Tidak berlebihan jika kita menyamakan data center dengan pelabuhan atau jalan tol. Ia adalah infrastruktur vital yang memungkinkan aplikasi e-commerce berjalan, sistem perbankan digital berfungsi, data layanan kesehatan tersimpan, dan AI nasional dilatih serta dikembangkan.

Namun, saat ini kapasitas data center Indonesia baru sekitar 514 MW—jauh di bawah Malaysia (>1.200 MW) dan masih tertinggal dari Thailand. Ironis, mengingat potensi ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai USD 124 miliar pada 2025.

Pertanyaannya: apakah infrastruktur digital kita siap menopang pertumbuhan sebesar itu?


Paradigma Baru: Insentif Bukan Beban, Tapi Investasi Jangka Panjang


Pemerintah sering kali memandang insentif fiskal dengan kacamata defisit anggaran. Wajar, di tengah APBN 2025 yang menghadapi tekanan defisit hingga Rp600 triliun. Namun, pendekatan ini bisa melumpuhkan langkah-langkah strategis yang justru dibutuhkan untuk menumbuhkan tax base baru.

Mari kita lihat data konkret:

  • Investasi data center 100 MW memerlukan ±Rp13 triliun.
  • Dengan insentif fiskal seperti tax holiday 10 tahun, negara tetap dapat menerima:
    • PPN konstruksi: Rp1–1,5 triliun
    • PPh karyawan dan korporasi: Rp200–300 miliar/tahun
    • Bea masuk, PBB, dan pajak cloud service: hingga Rp12 triliun dalam 5 tahun.

Return fiskal mencapai 60-90%, bahkan belum menghitung efek lanjutan dari sektor e-commerce, fintech, dan AI.


PLN & Energi: Dari Beban ke Sumber Pendapatan Baru


Data center juga merupakan konsumen listrik besar. Satu proyek 100 MW menyerap sekitar 1,1 TWh energi per tahun, memberi PLN potensi pendapatan Rp1,7 triliun/tahun dengan tarif USD 0.10/kWh.

Bahkan bila PLN menurunkan tarif ke level industri (USD 0.075/kWh), pendapatan tetap mencapai Rp1,28 triliun/tahun. Dan yang paling penting: tanpa insentif, investasi tidak masuk sama sekali, alias pendapatan PLN = nol.

Dengan insentif, kita mengubah pasokan listrik yang menganggur menjadi pendapatan riil—sebuah langkah cerdas di tengah surplus energi Jawa sebesar 5 GW.


Multiplier Effect: Ekonomi Digital Bukan Hanya Narasi, Tapi Mesin Nyata


Efek domino dari insentif data center menciptakan lapangan kerja langsung dan tak langsung:

  • 10–20 pekerjaan langsung per 1 MW kapasitas
  • Ratusan pekerjaan dari konstruksi, logistik, pelatihan, dan keamanan
  • Peningkatan permintaan terhadap layanan cloud lokal dan startup teknologi

Selain itu, insentif dapat dikondisikan pada pelatihan SDM lokal. Target: 100.000 tenaga kerja digital tersertifikasi hingga 2030, sebuah investasi SDM yang akan memperkuat daya saing bangsa.


Membangun Fondasi untuk Super AI Indonesia


Indonesia telah menyatakan ambisinya untuk membangun Super AI Nasional—model fondasi AI berbasis Bahasa Indonesia. Tapi mimpi ini hanya akan tinggal mimpi jika “pabrik AI”-nya dibangun di luar negeri.

Data center AI-ready adalah:

  • Sarana untuk High Performance Computing (HPC)
  • Lokasi pelatihan dan inferensi AI berskala besar
  • Infrastruktur komputasi murah bagi kampus, BRIN, dan startup lokal

Tanpa insentif, pembangunan ini akan tertahan. Kita akan menjadi konsumen AI, bukan produsen.


Strategi Kedaulatan Digital dan Lompatan Layanan Publik


Dengan data center lokal:

  • Data strategis & pribadi disimpan di dalam negeri
  • Layanan e-Gov berjalan lebih efisien, murah, dan cepat
  • Sektor publik (BPJS, RSUD, sekolah negeri, sistem pajak) dapat mengadopsi cloud dan AI dengan lebih aman dan hemat biaya

Bayangkan jika RSUD di pelosok bisa mengakses diagnosis kanker berbasis AI, atau siswa SMP di desa bisa mendapat materi personalisasi via platform AI.


Kesimpulan: Kunci GDP Tembus 8% Ada di Sini


Insentif fiskal dan tarif listrik khusus untuk industri data center bukan sekadar kebijakan ekonomi, melainkan strategi nasional. Ini adalah langkah:

  • Mendorong investasi Rp100 triliun lebih di sektor digital
  • Meningkatkan total penerimaan negara hingga Rp18 triliun per 5 tahun per proyek
  • Membuka jalan pertumbuhan PDB yang lebih inklusif, tangguh, dan modern

Jika kita serius ingin GDP tumbuh di atas 8%, maka jawabannya bukan menambah subsidi atau menaikkan konsumsi—melainkan memacu investasi di sektor yang akan menjadi tulang punggung masa depan: data center.


Insentif adalah bensin bagi mesin digital kita. Tanpa itu, roda ekonomi digital takkan bergerak maksimal. Mari kita ubah cara pandang: dari "apa yang kita korbankan", menjadi "apa yang akan kita menangkan".

Karena di dunia yang kian terdigitalisasi, bangsa yang paling cepat membangun infrastrukturnya akan jadi pemimpin. Indonesia punya potensi. Saatnya kita berani memupuknya.

Friday, September 19, 2025

Strategi Menjadi AI Hub Asia Pasifik




Krisis Geopolitik, Peluang Strategis

Di beberapa pertemuan yang IDPRO hadiri bersama team KOMDIGI, ada spirit yang sama untuk bersama menjadikan Indonesia sebagai pusat AI di kawasan Asia Pasifik, karena memang potensi dari sisi; supply energi, sumber daya manusia, infrastruktur subsea cable dan juga ketersediaan air bersih Indonesia unggul. Tapi memang tidak adanya insentif dan juga birokrasi perizinan menjadi tantangan bagi para investor data center. 

Menariknnya dalam beberapa bulan terakhir, lanskap global teknologi tinggi mengalami pergeseran dramatis. Pemerintah Amerika Serikat memperketat kontrol ekspor terhadap semikonduktor dan AI chipset, dengan menargetkan negara-negara yang dianggap sebagai jalur tak langsung ekspor ke Tiongkok — termasuk Malaysia, Vietnam, dan Thailand.

Di salah satu artikel yang saya baca di Bloomberg (Agustus 2025), beberapa pabrik integrator dan eksportir semikonduktor di Asia Tenggara tengah diselidiki atas dugaan "reshipment" teknologi AI ke entitas yang masuk dalam daftar sanksi AS.

Dalam konteks ini, Indonesia justru berada dalam posisi strategis yang netral dan dipercaya secara global, serta memiliki populasi digital terbesar di ASEAN. Lebih dari 80% penduduk Indonesia sudah memiliki akses ke internet dan diproyeksikan di tahun 2025 ini Gross Merchandise Value kita akan mencapai USD 135 billion. Dengan semua parameter ini kita harus membajak momentum geopolitik yang luar biasa menarik ini: menjadikan Indonesia sebagai pusat pengembangan dan penyimpanan infrastruktur AI — atau “AI Hub” — untuk Asia Pasifik.

Indonesia dan Potensi yang Siap Diakselerasi

Beberapa data dan fakta yang menegaskan kesiapan Indonesia:

  • Populasi Digital Terbesar di Asia Tenggara

    Menurut laporan We Are Social 2025, Indonesia memiliki 224 juta pengguna internet aktif, terbesar ke-4 di dunia.

  • Infrastruktur Data Center yang Tumbuh Cepat

    Berdasarkan laporan Cushman & Wakefield (2024), Indonesia menjadi salah satu dari lima pasar pusat data hyperscale dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan pertumbuhan kapasitas lebih dari 30% YoY.

  • Posisi Geopolitik Strategis

    Indonesia bukan bagian dari jalur sanksi AS, dan memiliki stabilitas politik yang lebih tinggi dibanding negara-negara tetangga yang saat ini terpengaruh oleh pembatasan ekspor teknologi strategis.


Buku Putih AI Nasional: Cetak Biru Arah Strategis

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (KOMDIGI) saat ini tengah menyusun Buku Putih Peta Jalan Kecerdasan Artifisial Nasional dan Pedoman Etika AI, yang menjadi fondasi arah pembangunan AI Indonesia hingga 2045.

Saya secara pribadi ditugaskan sebagai bagian dari Gugus Tugas penyusun Buku Putih ini, dan melihat langsung bagaimana kolaborasi lintas sektoral dibutuhkan secara nyata. Buku putih ini menekankan:

  1. Etika dan Keamanan AI

  2. Kedaulatan Data dan Infrastruktur Nasional

  3. Pengembangan Talenta AI Domestik

  4. Kolaborasi Industri dan Akademia

Rilis resmi dan draf dokumen ini dapat dibaca di:
https://www.komdigi.go.id/berita/siaran-pers/detail/konsultasi-publik-buku-putih-peta-jalan-kecerdasan-artifisial-nasional-dan-konsep-pedoman-etika-kecerdasan-artifisial


Peran Strategis IDPRO: Katalis Infrastruktur AI Nasional

Sebagai Ketua Umum IDPRO (Indonesia Data Center Provider Organization), saya menegaskan bahwa infrastruktur data center adalah tulang punggung AI nasional. Tanpa data center yang andal, efisien energi, dan patuh regulasi, tidak akan ada AI yang berdaulat.

IDPRO Siap Mendukung:

  • Ekspansi Data Center GPU-Ready
    Memfasilitasi masuknya server AI berbasis NVIDIA H100/Grace Hopper, AMD MI300, dan solusi open chip lainnya melalui anggota kami. Ada satu anggota IDPRO juga yang sudah mengimplementasi GB 200 NVL 72 dengan kebutuhan listrik sekitar 130 kilowatt per rack.

  • Kolaborasi dengan Pemerintah Daerah & Pusat
    Dalam mendesain zonasi data center dan infrastruktur hijau berkelanjutan. Nongsa Digital Park adalah salah satu contoh sukses betapa besar peranan pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus untuk menarik investor data center ke Indonesia. 

  • Kemitraan Pendidikan & Riset AI
    Mendorong kampus dan lembaga R&D untuk memiliki akses ke komputasi AI skala besar lokal. Perusahaan kami www.datagarda.com sudah bekerjasama dengan; Universitas Indonesia, ISTN, ITB dan Politeknik Batam dengan memberikan kurikulum khusus data center dan juga menyediakan trainer yang berpengalaman dan bersertifikasi untuk memastikan mahasiswa memiliki pemahaman yang mendalam dan siap terjun ke industri data center.

  • Kedaulatan Data & Lokalisasi Cloud AI
    Mendorong lahirnya sovereign AI cloud milik Indonesia, yang tidak tergantung pada entitas asing.


Membajak Momentum: Aksi Nyata yang Dibutuhkan

Indonesia tidak hanya perlu “ikut tren”, tapi harus mengambil posisi kepemimpinan AI di kawasan. Untuk itu, saya mengusulkan 5 langkah strategis nasional:

  1. Fasilitasi Impor AI Servers Secara Cepat & Efisien
    Kemenkeu & Bea Cukai harus memiliki fast-track khusus untuk peralatan AI kelas dunia.

  2. Zona Ekonomi Khusus untuk AI & Data Center
    Diperlukan inisiatif seperti AI Digital Freeport dengan insentif fiskal, energi, dan regulasi ringan.

  3. Aliansi Strategis dengan Produsen Chip Global Non-AS
    Mitra dari Jepang, Korea, Uni Eropa, dan India dapat membuka jalur non-sanksi ke Indonesia.

  4. Standarisasi & Sertifikasi AI Infrastructure Nasional
    Melalui BSSN dan BSN, perlu ada framework compliance lokal AI cloud & GPU farm.

  5. Platform Kolaborasi Nasional AI
    Melibatkan IDPRO, APJII, ATSI, kampus, startup, dan komunitas teknologi dalam satu forum reguler berbasis ekosistem.


Masa Depan Tidak Menunggu

Jika bukan sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?

Indonesia sedang berdiri di gerbang sejarah digital baru. Perang chip global, revolusi AI, dan krisis kepercayaan global justru membuka peluang bangkitnya bangsa ini sebagai mercusuar teknologi Asia Pasifik.

Melalui kolaborasi lintas sektor, keberanian untuk mengambil risiko strategis, dan kemauan kuat untuk membangun infrastruktur jangka panjang, kita bisa — dan harus — mewujudkan Indonesia sebagai AI Hub Asia Pasifik.

Saya mengajak seluruh pemangku kepentingan — pemerintah, industri, kampus, dan komunitas — untuk membajak momentum ini bersama dan menegakkan kedaulatan digital dengan konsisten.

Indonesia untuk AI. AI untuk Indonesia.


📘 Referensi:

  • Buku Putih AI Nasional: komdigi.go.id

  • Data Populasi Digital: We Are Social 2025 Report

  • Laporan Industri Data Center: Cushman & Wakefield Global Data Center Market Comparison 2024

  • Berita Geopolitik Chipset: Bloomberg Technology Asia, Agustus 2025

Saturday, September 13, 2025

Mimpi Besar Indonesia Menjadi AI Hub Asia Pasifik: Jangan Gagal Karena Regulasi yang Tak Siap

 




Indonesia punya peluang emas. Di tengah pergeseran ekonomi global ke arah digitalisasi dan kecerdasan buatan (AI), kita sedang berdiri di depan gerbang sejarah: menjadi pusat pertumbuhan AI dan infrastruktur digital di Asia Pasifik. Tapi peluang sebesar ini bisa hilang dalam diam jika regulasi kita tidak berubah arah—dari menghambat, menjadi mengundang.

Sebagai Ketua Umum IDPRO, saya merasa perlu angkat suara. Karena yang kita perjuangkan hari ini bukan hanya insentif fiskal untuk industri data center, tapi arah masa depan ekonomi digital Indonesia.


Data Center: Pelabuhan Digital untuk AI dan Ekonomi Masa Depan

Data center hari ini adalah pelabuhan dan jalan tol ekonomi digital. Ia bukan sekadar gudang server. Tanpa infrastruktur ini, semua layanan berbasis cloud, AI, transaksi perbankan, e-commerce, dan bahkan smart city seperti IKN—akan berjalan dengan kaki, bukan mesin.

Setiap 1 MW kapasitas data center menciptakan ratusan pekerjaan langsung dan tidak langsung. Ekosistemnya hidup: dari konstruksi, logistik, hingga pengembangan talenta digital. Lebih dari itu, data center adalah tulang punggung bagi AI workloads: dari pelatihan model, deployment, hingga inferensi model generatif dan LLM (Large Language Model).


Tapi Kenapa Investor Masih Ragu?

Jawabannya sederhana: regulasi kita belum berpihak.

Saat negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand menawarkan tax holiday 10–15 tahun, tarif listrik di bawah USD 0.07/kWh, dan perizinan ekspres—Indonesia justru belum punya kerangka insentif yang kompetitif.

Akibatnya?

Investor AI global dan hyperscale cloud lebih memilih relokasi ke luar negeri. Padahal, dengan insentif yang tepat, satu data center 100 MW saja bisa:

  • Menyumbang Rp 8–12 triliun penerimaan negara dalam 5 tahun

  • Memberikan pendapatan berulang Rp 1,7 triliun/tahun untuk PLN

  • Mendorong pertumbuhan ekosistem cloud, startup AI, fintech, edutech

  • Membuka akses infrastruktur untuk pengembangan Super AI nasional

  • Mempercepat digitalisasi sektor publik, dari BPJS hingga sistem pajak


Insentif Bukan Beban, Tapi Investasi Masa Depan

Kita perlu mengubah paradigma. Insentif bukan berarti kehilangan penerimaan negara. Justru sebaliknya, insentif adalah katalis pertumbuhan ekonomi digital.

Apakah PLN akan kehilangan pendapatan jika diberi tarif industri? Tidak. Karena tanpa insentif, tidak ada penjualan listrik sama sekali.

Simulasinya jelas: dengan tarif industri (USD 0.075/kWh), memang ada penurunan pendapatan bruto PLN sebesar Rp 420 miliar per tahun. Tapi itu adalah revenue yang tidak pernah ada jika data center tidak dibangun.

Lebih jauh lagi, PLN justru akan mendapat pelanggan strategis baru di sektor digital, memperluas bauran energi baru terbarukan (EBT) lewat skema Green PPA, dan membuka potensi ekspansi bisnis energi hijau.


Kalau Kita Tidak Bergerak, Kita Akan Tertinggal

Negara lain sedang berlari. Kita tidak bisa selamanya duduk dalam rapat koordinasi tanpa keputusan.

Tanpa insentif:

  • Kita kehilangan Rp 8–12 triliun penerimaan fiskal

  • PLN kehilangan potensi pendapatan triliunan rupiah

  • Kita gagal membangun ekosistem AI lokal

  • Anak-anak muda Indonesia akan jadi penonton, bukan pemain, dalam revolusi AI


Apa yang Bisa Dilakukan?

IDPRO mengusulkan beberapa solusi strategis yang fiskal-netral, terukur, dan bersyarat:

  1. Tarif listrik industri khusus untuk data center

    • Di kisaran USD 0.07–0.08/kWh

    • Diikat dengan syarat green energy dan pelatihan SDM lokal

  2. Insentif bertingkat berbasis kinerja

    • Tax allowance untuk investasi GPU cluster

    • Pembebasan bea masuk untuk AI servers

  3. Insentif fiskal “ditunda” dan dibayar dari downstream

    • Tidak perlu subsidi langsung

    • Dibayar kembali dari pajak digital cloud & AI

  4. Kewajiban transfer teknologi dan penyediaan cloud nasional


Indonesia Harus Berani Ambil Posisi

Visi Indonesia untuk menjadi kekuatan AI di Asia Tenggara tidak bisa dibangun di atas niat baik saja. Ia butuh keberanian fiskal. Ia butuh insentif yang jelas, adil, dan strategis.

Sebagai Ketua IDPRO, saya mendorong Kementerian Keuangan dan stakeholder terkait untuk melihat bahwa pemberian insentif untuk industri data center bukan pengeluaran, tapi investasi—yang akan menghasilkan return dalam bentuk:

✅ Ekspansi tax base
✅ Penciptaan lapangan kerja digital
✅ Akses AI nasional yang berdaulat
✅ Efisiensi layanan publik
✅ Pertumbuhan PDB digital yang berkelanjutan


Pilihannya Jelas

Kita bisa menjadi produsen AI atau selamanya menjadi konsumen teknologi asing.

Kita bisa membangun pabrik AI di dalam negeri, atau membiarkan mereka berdiri di negara tetangga.

Kita bisa menjadikan insentif sebagai alat kedaulatan digital, atau kehilangan peluang sekali seumur hidup ini.

Saya percaya, dengan regulasi yang berpihak dan visi jangka panjang, Indonesia tidak hanya bisa jadi AI hub Asia Pasifik—tapi juga simbol kemajuan digital yang inklusif dan berdaulat.

Hendra Suryakusuma
Ketua Umum IDPRO


Monday, July 28, 2025

PERSONAL REFLECTION: WHY I’M DEEPLY CONCERNED ABOUT INDONESIA’S DIGITAL SOVEREIGNTY





Over the past decade, especially through my role at www.idpro.id,  I've dedicated my professional life to building Indonesia’s digital infrastructure—ensuring our data center infrastructures, cloud systems, and digital policies serve the interests of our nation. But today, I write not just as an industry leader, but as a concerned Indonesian.


A recent reciprocal trade agreement between Indonesia and the United States includes a clause that could allow free cross-border transfer of Indonesian citizens’ personal data to the U.S.—with no clear legal safeguards or enforceable protection mechanisms. I heard the news on July 22nd 2025, and I was speechless.


This may sound like a technical issue. But it’s far more than that.
This is a direct threat to Indonesia’s digital sovereignty.


Data is Power. And Power Should Belong to the People.

In today's world, data is not a byproduct of technology—it is the new currency of influence. Our personal data reflects who we are:

  • Our health history
  • Our financial behavior
  • Our locations and habits
  • Our conversations, preferences, and beliefs

When such data is freely transferred to foreign jurisdictions, especially those without comprehensive national data protection laws like the U.S., we lose more than privacy.
We lose control.
We lose economic value.
We risk manipulation, surveillance, and digital colonization.


Why This Agreement is Dangerous

Let me be clear:
The United States does not currently offer an adequate level of data protection. Even the European Union has recognized this by refusing to grant the U.S. "adequate protection" status under GDPR.

Meanwhile, U.S. surveillance programs like PRISM and laws like the CLOUD Act allow American authorities to access data from any company under U.S. jurisdiction—even if that data is stored in Indonesia.

By allowing unrestricted data flow to the U.S., we are effectively handing over our digital identity to a foreign power, with no ability to intervene, audit, or enforce our laws.


What Digital Sovereignty Really Means

We must stop treating "digital sovereignty" as a buzzword. It has clear, non-negotiable pillars:

  1. Data Sovereignty
    Indonesian citizens' data must be governed by Indonesian law.
  2. Infrastructure Sovereignty
    Our critical data infrastructure must be physically located—and controlled—within national borders.
  3. Legal Sovereignty
    No foreign power should be able to access our data without going through the Indonesian legal system.
  4. Economic Sovereignty
    The value derived from Indonesian data—AI development, analytics, digital innovation—must benefit Indonesians, not be exported for others’ gain.


What We Stand For at IDPRO


At IDPRO, we believe in progress. We support responsible international collaboration. But we draw a hard line when it comes to giving away our national assets without protection.


We urge the government and relevant stakeholders to:

  • Reject any clause in international agreements that compromises our legal authority over Indonesian data.
  • Mandate selective data localization, especially for sensitive sectors like health, finance, defense, and government.
  • Strengthen and enforce Indonesia’s Data Protection Law (UU PDP No. 27/2022), including its extraterritorial provisions.
  • Provide incentives to build and maintain data centers within Indonesia, under Indonesian legal and operational control.
  • Foster a thriving data-driven innovation ecosystem in Indonesia, so we process and utilize our data here—rather than exporting raw digital material and importing finished technologies.


As someone deeply embedded in the digital world, I’ve watched nations rise or fall based on how they treat their data. Data is not just tech—it’s geopolitical leverage. It determines who builds the next generation of AI, who controls narratives, and who profits from innovation.

Indonesia has the talent. We have the market. We have the momentum.
What we must not lose is our agency.

This agreement with the U.S., if left unchecked, risks turning us into a data donor nation—one that feeds others’ advancements while stalling our own.

In the digital age, those who control data control destiny.
Let’s ensure that destiny stays in Indonesian hands. 


Thank you for reading. I write this as a citizen who cares deeply about the future of this country. If this resonates with you, let’s raise our voices together.

#DigitalSovereignty #IndonesiaFirst #ProtectOurData #IDPRO #DigitalIndependence

Wednesday, July 02, 2025

A Morning Near the Edge: A Gentle Reminder of Life’s Fragility MasyaAllah

 



June 27th, 2025—just after sunrise. The world was slowly waking, and I—as is my ritual—walked beside my father, whose steps have weathered 87 seasons of life. Each morning stroll is more than a habit; it's a sacred thread that binds generations, a quiet ode to time itself.

That morning, like many before, we greeted the day side by side. He met an old friend, exchanged gentle laughter, and the sky above us felt unremarkable—grey, cold, serene, unaware of what lay ahead.

But fate, in its subtle cruelty, knows no warning.

In front of my workplace (Bona Indah, Souh Jakarta(, his breath grew shallow, and his steps faltered. I caught his hand—cold, like the memory of another hand I once held, my late teacher, Debby Nasution, Rohimahullah whose journey ended with such chilling stillness. That same icy grip whispered of mortality.

Panic clawed at my calm. I was alone with him, helpless but not hopeless. As he whispered prayers between pale lips, I called my wife, asked her to bring the car—just in case. The thought of loss loomed large, uninvited and merciless.

Yet mercy arrived, quiet and steadfast.

We returned home, guided not just by instinct but by faith. A warm glass of water. A gentle massage. Patience. Prayers. And, as if by grace, the color returned to his cheeks, and the strength returned to his frame.

He is still here. Still breathing. Still praying.

This moment, fragile as it was, offered me a truth too often lost in the noise of daily life: we must make time for those we love—not when it is convenient, but when it matters. And every moment matters. The shadow of death walks silently beside us; it does not knock.

So I write this not out of fear, but out of reverence. For mornings like these. For second chances. For the sacred duty of presence.

Hold their hands while you still can. Walk with them. Listen to their stories. Let love be louder than routine.

Because life, in all its quiet beauty, is a fleeting breath—and we must cherish it before it slips into silence.

Wednesday, May 28, 2025

MENUJU INDONESIA SEBAGAI PEMIMPIN AI ASIA PASIFIK!





Strategi Indonesia Membangun Industri Data Center Kelas Dunia 2025–2030.

(tulisan ini adalah versi ringkas dari Rencana Strategis Pengembangan Industri Data Center Indonesia yang saya buat untuk IDPRO)


Momentum Emas Transformasi Digital Indonesia

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia mengalami lonjakan luar biasa dalam adopsi internet, teknologi digital, hingga AI dan blockchain. Dengan lebih dari 221 juta pengguna internet, lalu lintas data melonjak dari 1,3 Tbps (2021) ke 14 Tbps (2024)—sebuah pertanda bahwa kita bukan lagi hanya pasar teknologi, kita adalah medan pertempuran masa depan digital Asia.


Tantangan Nyata, Solusi Strategis

  1. Biaya Listrik Mahal (USD 0,09–0,12/kWh) dibanding Malaysia (USD 0,05/kWh). ➤ Solusi: Tarif listrik khusus + PPA hijau jangka panjang.
  2. Keamanan Siber Lemah – lebih dari 200 juta data bocor dalam 3 tahun terakhir. ➤ Solusi: Audit tahunan + Zero Trust + AI-driven cybersecurity.
  3. Regulasi Usang (PP 71/2019) – data strategis masih boleh disimpan di luar negeri. ➤ Solusi: Revisi total untuk data sovereignty.
  4. SDM Kurang Siap – kekurangan 80.000+ tenaga ahli. ➤ Solusi: 100.000 SDM tersertifikasi di cloud, AI, dan data center.


Visi: Indonesia Jadi AI & Data Hub Asia Pasifik

Indonesia menargetkan:

  • USD 10 miliar investasi data center
  • 1.000 MW kapasitas infrastruktur
  • 50% energi hijau untuk operasi data center
  • Menjadi pusat AI & cloud ASEAN


Rencana Aksi 2025–2030

  1. 2025 – Regulasi baru, insentif pajak, tarif listrik kompetitif 
  2. 2026 – Bangun 5 hyperscale DC: Jakarta, Batam, Surabaya, Kalimantan, Medan 
  3. 2027 – Standarisasi keamanan ISO 27001 & SOC 2 + Cybersecurity Task Force 
  4. 2028 – 30% energi hijau + solar/hydro farm untuk AI workloads 
  5. 2029 – Kabel bawah laut + edge computing 
  6. 2030 – Indonesia jadi pusat data terbesar di Asia Tenggara


Catatan Kritis: Serangan Ransomware PDNS 2 (Juni 2024)

Diserang ransomware Brain Cipher, 282 layanan publik lumpuh, termasuk imigrasi bandara. Ransom: USD 8 juta. Pemerintah tak menyerah—dan ini jadi titik balik besar.


Hanya 44 instansi punya backup saat itu. ➡️ Kini semua layanan wajib punya sistem keamanan + backup nasional.

Pelajaran: Kedaulatan data = Kedaulatan negara.


Energi Hijau: Net Zero di 2050

Indonesia punya potensi 207 GW tenaga surya & 75 GW hidro. Target:

  • 2025: 20% energi hijau
  • 2030: 50% data center gunakan energi terbarukan
  • 2050: Industri data center RI mencapai net zero emission


SDM Digital Kelas Dunia

  • 100.000 tenaga tersertifikasi (cloud, data center, cybersecurity)
  • Bootcamp nasional + Data Center Academy
  • Kolaborasi global: Google, AWS, Microsoft, Cisco


Kesimpulan

Ini bukan sekadar soal teknologi. Ini soal masa depan kedaulatan digital bangsa. Jika kita bisa membangun ekosistem cloud dan AI berbasis Indonesia, maka kita tidak hanya bersaing—kita memimpin.

Saatnya Indonesia bicara dalam bahasa data, bertindak dengan kekuatan AI, dan berdiri dengan infrastruktur digital yang berdaulat.