Saturday, May 03, 2025

Kedaulatan Digital Adalah Hak Bangsa: Melindungi Indonesia dari Ancaman Era Digital

 



Transformasi digital di Indonesia berjalan dengan masif dan sedang membentuk ulang wajah Indonesia—dari pelayanan publik yang serba digital, pendidikan berbasis daring, hingga ekonomi kreatif yang tumbuh pesat lewat internet. Tapi di balik cahaya kemajuan ini, ada bayang-bayang yang mengintai: dominasi platform asing, penyalahgunaan data biometrik, dan legislasi luar negeri yang bisa menembus batas kedaulatan kita.

Kalau data adalah emas baru, maka Indonesia harus jadi penjaga tambangnya.

USA PATRIOT Act & CLOUD Act: Ketika Data Kita Tak Lagi Milik Kita

Tahukah kamu? Meski data warga Indonesia disimpan di server yang secara fisik berada di Asia, jika server itu dimiliki oleh perusahaan asal Amerika seperti Google, Microsoft, atau Amazon—pemerintah AS tetap bisa mengaksesnya. Itulah kekuatan USA PATRIOT Act dan CLOUD Act.

  • USA PATRIOT Act (2001) memungkinkan otoritas AS mengakses data global yang disimpan oleh perusahaan berbasis di negaranya.

  • CLOUD Act (2018) bahkan memperkuat itu—mewajibkan perusahaan AS menyerahkan data pelanggan, di mana pun server-nya berada.

Indonesia tidak memiliki perjanjian timbal balik dengan AS dalam hal ini. Artinya: mereka bisa mengakses data kita, kita tidak bisa mengakses data mereka.

Ini bukan soal paranoia. Ini soal prinsip. Soal kedaulatan.

Worldcoin: “Emas Digital” yang Dibayar dengan Mata Kita

Proyek Worldcoin, buatan Sam Altman (CEO OpenAI), datang membawa janji manis: kripto gratis bagi siapa pun yang mau memindai iris matanya. Kedengarannya futuristik dan inklusif. Tapi kenyataannya lebih rumit.

  • Privasi Dipertaruhkan: Pemindaian biometrik adalah data paling sensitif. Sekali bocor, tidak bisa di-reset.

  • Negara Berkembang Jadi Sasaran: Dengan tawaran insentif kecil, proyek ini menyasar populasi rentan di negara-negara berkembang—termasuk Indonesia.

Spanyol dan Kenya sudah menghentikan Worldcoin karena melanggar prinsip privasi. Indonesia belum. Apakah kita mau jadi ladang uji coba teknologi asing tanpa perlindungan yang layak?

Mengapa Ini Genting untuk Indonesia?

Kita tengah berada di persimpangan. Ketergantungan pada infrastruktur digital asing, minimnya edukasi soal data pribadi, dan lemahnya regulasi bisa menjadi kuda Troya yang merusak dari dalam.

Tanpa kontrol atas data, kita kehilangan:

  • Kedaulatan ekonomi (siapa yang monetisasi data kita?)

  • Keamanan nasional (apa yang terjadi jika data strategis jatuh ke tangan asing?)

  • Hak privasi individu (siapa yang memutuskan bagaimana wajah dan identitas digital kita digunakan?)

Langkah Strategis: Indonesia Tidak Boleh Diam

Untuk menjaga masa depan digital yang merdeka dan berdaulat, kita butuh:

  1. Regulasi yang Tegas & Teguh
    UU Perlindungan Data Pribadi harus ditegakkan secara menyeluruh. Semua entitas digital, lokal maupun asing, wajib tunduk pada hukum Indonesia jika ingin beroperasi di sini.

  2. Infrastruktur Digital Mandiri
    Bangun dan dorong penggunaan pusat data lokal. Data rakyat Indonesia harus berada di tanah Indonesia, di bawah hukum Indonesia.

  3. Literasi Data untuk Semua
    Rakyat perlu tahu: privasi adalah hak, bukan komoditas. Kampanye edukasi tentang risiko berbagi data—terutama biometrik—harus menjadi prioritas nasional.

  4. Diplomasi Data Internasional
    Indonesia harus aktif menjalin perjanjian bilateral yang adil dan setara dalam hal akses dan perlindungan data.

Kedaulatan digital bukan sekadar jargon teknologi. Ia adalah hak setiap bangsa untuk menjaga identitas, martabat, dan keamanannya di dunia maya. Di tengah derasnya arus globalisasi digital, Indonesia harus berdiri tegak—bukan sebagai pasar data, tapi sebagai pemilik dan penjaga data bangsanya.

Jangan tunggu hingga data kita digunakan melawan kita.
Saatnya #IndonesiaBerdaulat secara digital.

No comments: