Ada perkembangan yang sangat mengkhawatirkan dalam industri musik di Indonesia. Sejak 2.5 tahun yang lalu hampir semua main medium (Dahsyat, Inbox sampai ke RBT di gedung2 ITC) yang potensial di pergunakan dengan sangat massive oleh "Mafia major Label", memuntahkan musik2 yang mendangkalkan baik dari sisi lyrics maupun musics.
Hal ini juga diperparah dengan musik2 luar negeri yang masuk ke Indonesia pun umumnya adalah musik "pop corn" yang memang didesign untuk keperluan industri dengan sangat memperhatikan hukum ekonomi. Semuanya jualan single melalui RBT tidak adalagi approach "concept album" yang sangat kita hargai pencapaiannya.
Di sisi lain band2 indie berkesan sangat exclusive dan tidak merakyat, mereka masuk ke ranah "band pintar" yang hanya boleh didengar oleh "orang2 pintar" saja. Akhirnya general public harus merasa puas terindoktrinasi dengan musik yang liriknya hanya tentang; perselingkuhan, roman picisan dan kedangkalan2 lainnya.
Miss those musics sang by Vina Panduwinata or wrote by Guruh Soekarno Putra, Erros Djarot yang walaupun "cerdas" tapi tetap diterima luas oleh masyarakat. Tema yang dibawa juga variatif dan kalau bicara cinta kesannya megah dan syahdu, suatu hal yang jarang kita dengar akhir2 ini, mungkin karena terbombardir oleh lagu "Cinta Satu Malam".
We definitely need to revolutionize it, knowing that we have the luxury to unleash the power of internet. And I strongly believe that people already getting sick of these lame musics shoved to their ears on daily basis.
Music is a strong medium to convey messages, dan kalo messagesnya dangkal ya pendengarnya juga akan ikut terdangkalkan, it's a action reaction thingy and we have to be very aware of that.
Butuh kompromi antara musik yang ditawarkan 'Major Label" dan "Indie Scene" yang menawarkan music dan lyric yang membangun "rasa" dan mencerdaskan masyarakat. Otherwise kebodohan yang memang didesign secara systematic ini akan tetap membuat bangsa ini terpuruk.
It's mass hyptotism guys, wake up!
No comments:
Post a Comment